Tugas di Hari Ayah: Ajari Anak Lelaki bahwa Maskulinitas Tak Harus Keras

Sekar Anindyah Lamase | Ancilla Vinta Nugraha
Tugas di Hari Ayah: Ajari Anak Lelaki bahwa Maskulinitas Tak Harus Keras
Ilustrasi ayah dengan anak laki-laki (Unsplash/Kelli McClintock)

Memperingati Hari Ayah, banyak yang lupa bahwa tugas terbesar seorang ayah bukan sekadar menjadi pelindung, tapi juga teladan dalam memahami emosi. Anak laki-laki tentunya juga perlu diajari bahwa maskulinitas tak harus selalu keras. 

Di tengah budaya yang masih menganggap laki-laki harus tangguh dan tak boleh menangis, kini pemahaman soal maskulinitas perlu diubah sejak dini. Anak laki-laki perlu tahu bahwa menangis bukan tanda kelemahan, melainkan cara manusia mengekspresikan perasaan dengan sehat. 

Dengan memahami emosi, anak laki-laki bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih lembut tanpa kehilangan ketegasan. Di sanalah peran ayah dibutuhkan, bukan hanya mengajarkan keteguhan, tapi juga mengizinkan anaknya untuk merasa dan berempati.

Tanpa disadari, hal seperti ini dapat membuat banyak anak tumbuh jauh dari sisi lembutnya dan kesulitan mengekspresikan diri dengan sehat. Kebiasaan menekan emosi dan menuntut laki-laki selalu kuat inilah yang sering disebut sebagai toxic masculinity

Berkenalan dengan toxic masculinity

Mengutip dari Alodokter.com, toxic masculinity digambarkan sebagai tekanan sosial yang menuntut laki-laki untuk bertingkah dan bersikap dengan cara tertentu. Tekanan ini sering dikaitkan dengan anggapan bahwa pria harus selalu kuat, berkuasa, dan tidak boleh memperlihatkan emosi. 

Karakteristik ini pada umumnya muncul karena laki-laki tidak mau dicap dengan stigma “laki-laki lemah.” Maka dari itu, biasanya para orang tua terutama ayah selalu menekankan anak laki-lakinya untuk bersikap keras. 

Lantas bagaimana cara mencegah toxic masculinity? 

Berdasarkan kutipan dari Alodokter.com, hal ini dapat dicegah dengan mengajari anak untuk mengekspresikan diri. Ayah perlu memberitahu sang anak bahwa tidak ada yang salah bagi anak laki-laki untuk bercerita, berkeluh kesah, dan menunjukkan rasa sedih.

Jika perlu, sang ayah juga dapat menjadi teladan bagi sang anak. Sebagai seorang kepala keluarga, ayah dapat mencontohkan kepada anaknya dengan selalu membuka pembicaraan dan bercerita. Hal seperti ini diharapkan agar anak tidak merasa takut untuk sharing

Selain itu, para ayah juga sebaiknya memberikan perkataan yang positif dan tidak merendahkan perempuan. Ucapan seperti “Masa laki-laki takut? Kayak cewek aja” atau “Jangan cengeng, kamu kan cowok” justru bisa membuat anak laki-laki memandang perempuan sebelah mata dan tumbuh tanpa rasa hormat terhadap mereka.

Selanjutnya, sang ayah juga bisa mengajak anak laki-lakinya terlibat dalam pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci baju, atau membersihkan piring setelah makan. Hal sederhana ini bisa menjadi langkah awal untuk menanamkan nilai kesetaraan dan tanggung jawab tanpa memandang gender. 

Dengan menanamkan nilai-nilai tersebut sejak dini, anak laki-laki dapat tumbuh menjadi pribadi yang lebih terbuka dan berempati. Mereka belajar bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada menahan emosi, tetapi pada keberanian untuk memahami dan mengelolanya dengan bijak. 

Peran ayah menjadi sangat penting dalam membentuk cara pandang anak terhadap maskulinitas. Lewat contoh nyata dan komunikasi yang hangat, sang ayah bisa membantu memutus rantai toxic masculinity agar generasi berikutnya tumbuh dengan pandangan yang lebih sehat tentang arti menjadi laki-laki. 

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak