"Woy, diem kenapa sih, kebiasaan deh kalo gak ada guru ribut semua," teriak Rini membentak seisi kelas.
"Udah deh Rin, gak usah terlalu serius, ntar cepet tua lo. Yuk, sini bikin Tiktok bareng, lagi trend nih goyangannya," sahut Amel yang sama sekali tidak menghiraukan perkataan Rini.
Jam kosong itu terus berlanjut hingga bel menunjukkan waktu pulang berbunyi. Tidak seberuntung teman-teman lainnya, Rini sama sekali belum kepikiran untuk mengendarai sepeda motor ke sekolah. Ekonomi keluarga yang sangat minim, membuat Rini harus terus mengayuh sepeda bututnya.
Jarak antara sekolah dengan rumah yang berkisar sekitar 5 KM, membuat mereka sering tiba di rumah saat matahari telah terbenam. Tak seperti hari-hari biasanya, hari ini langit tampak sangat gelap padahal waktu masih menunjukkan pukul empat sore.
"Semoga tidak hujan," gumam Rini sembari memandang langit yang menghitam.
Meski telah menjadi kebiasaan sehari-hari, melewati jalan setapak yang rimbun dan hari yang sudah mulai gelap, membuat suasana hati Rini menjadi sedikit was-was.
"Lindungi aku ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa,"
Suasana jalanan dan rimbunnya pohon bambu membuat suasana menjadi terasa mencekam. Pikiran Rini semakin kacau ditambah suara bambu yang saling tertiup angin membuat bulu kuduknya berdiri.
Gubrakkkkk...
"Awww..." teriak Rini keras. Sepeda yang dikendarainya tergelincir ke parit kecil dipinggir jalan. Pohon bambu disekitar jalanan terus membuat kacau pikiran Rini.
"Aduh, harusnya aku banyakin berdoa bukan berpikir yang enggak-enggak," sesal Rini.
"Awww, aduh berdarah lagi," kakinya terkena batu-batuan kasar di pinggir parit.
Hari semakin gelap, Rini dengan sigap mengangkat sepedanya dari parit. Sial rantainya putus.
"Ah, sial banget sih aku hari ini," geram Rini, sepedanya ia lemparkan kembali ke parit.
Dia hanya bisa menangis sendirian, sembari menekan luka yang terus berdarah. Mustahil untuk meminta bantuan disini, jalannya sangat sepi dan cuaca semakin memburuk.
"Kenapa dek?"
Kepala Rini sontak menengok ke arah datangnya suara, ia melihat ada seorang kakek-kakek berbaju putih lusuh seperti orang-orangan sawah datang membawa obor menghampirinya. Aneh, tidak mungkin ada seorang kakek tua di tempat seperti ini, bahkan hanya ia dan keluarganya saja yang selalu menggunakan jalan setapak ini. Mengambil sikap waspada Rini kemudian mengambil batu kecil yang ada di dekatnya, Ia sangat ketakutan karena merasa hal ini sangat tidak wajar. Keringat dingin mengucur deras di wajah Rini, ia ingin berteriak sekuat-kuatnya tapi percuma tidak akan ada yang mendengarnya. Kakek itu semakin mendekat, hati Rini sudah tidak karuan ia ingin segera melemparkan batu yang sedang dipegangnya.
"Kakimu berdarah, ayo ke rumah kakek, bahaya disini sendirian, hari sudah gelap, tenang aja kakek bukan orang jahat, rumah kakek di seberang bambu ini, tidak jauh, besok pagi kamu sudah bisa pulang, istirahatlah dulu ditempat kakek,"
Mendengar hal demikian, membuat pikiran Rini semakin tidak karuan, namun mau bagaimana lagi sudah terlalu gelap untuk pulang, ditambah kakinya yang luka dan sepeda yang tidak lagi bisa dikayuh.
"Ayo," ajak kakek.
Rini hanya bisa pasrah, mengikuti ajakan kakek tersebut. Dengan sedikit menyeret kakinya yang terluka, ia melewati rimbunnya pohon bambu yang ada disamping jalan. Aneh, jalan menuju rumah kakek terasa lebih lebar, padahal ia belum pernah melihat jalanan ini sebelumnya. Entahlah, Rini hanya berharap kakek ini tidak menjahatinya.
"Hah, sejak kapan ada desa di sini," Rini terkaget setelah melihat ada sebuah desa yang cukup ramai setelah iya melewati jalan bersama sang kakek.
"Itu rumah kakek," sang kakek menunjuk kearah rumah kecil di desa tersebut.
"Tenang nanti kakek obati lukamu, sepedanya biarkan diluar, tidak ada yang mencuri," ucap kakek kepada Rini
"Mari masuk, duduk dulu disitu saya ambilkan obat," ucap kakek
Rini tetap masih belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi pada dirinya, bahkan ia mencubit keras pipinya agar ia tersadar, tapi sayang itu bukan mimpi, ini nyata. Sang kakek keluar dengan segelas teh panas dan tampak membawa dedaunan di tangan yang satunya.
"Sini biar kakek obati lukamu, tahan ini akan sedikit perih, tapi obat ini sangat mujarab," kata sang kakek.
Rini yang masih bingung hanya bisa pasrah dan menuruti apa kata sang kakek. Dengan lap yang sudah dibasahi dengan air sang kakek membersihkan luka Rini perlahan. Benar-benar nyata, bahkan Rini masih belum percaya dengan apa yang terjadi padanya.
"Awwww... perih," Rini merintih.
"Tahan, ini akan segera sembuh jika sudah diolesi ramuan ini," sang kakek pelan-pelan mengolesi semua bagian luka di kaki Rini.
***
Setelah selesai diobati, Rini berjalan keluar dari rumah sang kakek. Tak disangka desa ini benar-benar ramai. Tampak banyak sekali penduduknya, semua melakukan kegiatan normal pada umumnya. Ada seorang yang sedang berjualan di seberang jalan tadi, hingga anak-anak yang tampak masih asik bermain di malam hari. Semua tampak normal, hanya saja ada sedikit keanehan di desa ini, semua penduduknya pucat termasuk sang kakek tadi.
"Ah, tidak mungkin, pasti karena sudah malam," gumam Rini.
Dengan membuang semua pikiran negatif, Rini mencoba untuk berkeliling. Desa ini terlalu tua untuk ukuran tahun sekarang, bahkan semua penduduknya masih menggunakan obor sebagai penerangan. Musik-musik Jawa kuno banyak terdengar dari rumah-rumah warga. Sungguh aneh, tapi ini tampak sangat nyata. Tak mampu menafsirkan apa yang sedang ia alami dengan kaki yang sudah mulai membaik, Rini berlari kembali ke rumah sang Kakek.
"Tidur saja di dipan itu, besok lukamu sudah sembuh," sang kakek menunjuk sebuah dipan tua dengan jendela bambu yang tidak tertutup.
Badan yang lelah membuat Rini, cepat untuk berbaring di atas dipan. Matanya menatap keluar jendela. Sontak Rini berteriak tidak percaya, ada banyak tentara Belanda berkeliaran di luar. Tubuh Rini dingin menggigil, bulu kuduknya tak henti-hentinya berdiri, ia benar-benar tak percaya, apa yang sebenarnya terjadi? dimana ia sekarang?.
Dorr, dorr, dorrr...
Para tentara itu membantai semua penduduk di desa. Rini tidak bisa berbuat apa-apa. Dirinya hanya terbaring lemas melihat semua kejadian aneh yang menimpa dirinya malam itu. Kekejaman tentara-tentara itu benar-benar terjadi di depan matanya, semua penduduk dibantai. Ia hanya bisa berdiam dan berharap semoga ini bukan akhir dari hidupnya.
Suara tangisan dan teriakan penduduk setempat, terus terdengar malam itu. Dengan sekuat tenaga Rini memejamkan matanya dan berusaha untuk tidak bersuara sedikit pun.
***
Suara burung-burung kecil terdengar, hari sudah pagi. Rini kebingungan saat terbangun, dimana desa semalam?. Desa itu lenyap begitu saja. Ia terbangun di sebuah ladang kosong. Sepedanya berada tepat 2 meter seperti posisi depan rumah kakek itu. Rini memastikan kembali dan melihat sekelilingnya, desa itu benar-benar hilang. Apa iya ia kembali ke zaman Belanda?. Tapi benar kata kakek itu, lukanya sudah kering, kakinya sudah dapat digerakkan seperti semula. Ini bukan mimpi.
"Untung saja ini hari minggu," gumam Rini sembari mendorong sepedanya pulang ke rumah.
Sesampai di rumah Ia menceritakan semua kejadian yang dialaminya tengah malam itu. Ternyata benar, dahulu kawasan itu adalah sebuah desa kecil yang dibantai oleh tentara belanda pada zaman penjajahan. Kemungkinan desa itu masih berjalan seperti biasa, namun sudah di alam yang berbeda. Penjelasan kakeknya saat ia tiba di rumah.
Semenjak kejadian itu, Rini selalu pulang lebih awal dari biasanya. Dalam benak Rini, masih terdapat banyak pertanyaan mengenai desa itu. Bahkan dalam lamunannya Ia sering merasa ingin bertemu kakek yang telah menolongnya.