Perkembangan dan perubahan di berbagai lini kehidupan telah membentuk konsep-konsep hubungan sosial yang belum pernah ada sebelumnya. Salah satu yang marak dan telah lebih dulu terbentuk dalam konteks masyarakat Barat adalah hook up. Apa itu hook up?
Dalam American Psychological Association, hook up didefinisikan sebagai pertemuan singkat seksual dua individu yang tak terikat komitmen maupun hubungan romantis satu sama lain. Sementara itu, dalam sebuah survey yang dipublikasikan Context, mahasiswa umumnya mendefinisikan hook up sebagai pertemuan non-formal dan tak terencana di sebuah pesta atau asrama, dan melakukan aktivitas seksual. Lalu, dari mana budaya ini muncul dan bagaimana perkembangannya?
Secara historis, hook up culture atau budaya hook up awalnya muncul dari pergeseran sosial yang terjadi sepanjang kurun satu abad terakhir. Ia adalah budaya yang mulai marak sejak 1920-an, bersamaan dengan semakin maraknya mobil dan hiburan baru seperti bioskop. Para pemuda dewasa mulai berpacaran dengan pergi ke luar rumah dan mengeksplorasi sisi seksualitas mereka dengan lebih leluasa tanpa pengawasan ketat dari orang tua.
Pada tahun 1960-an, seiring dengan bangkitnya feminisme, kemampuan kontrol kelahiran, dan college party yang melibatkan kegiatan seks, anak muda semakin bebas secara seksual. Kini, kegiatan seks di luar hubungan romantis yang berkomitmen (nikah) semakin marak dan dapat diterima masyarakat Barat.
Bila membicarakan konteks Amerika, mundurnya usia pernikahan dan masa pubertas yang datang lebih awal menyebabkan anak-anak muda di sana telah mampu bereproduksi secara biologis. Akan tetapi, kesiapan biologis tidak secara otomatis membuat sisi psikologis dan sosial mereka siap untuk berkeluarga. Gap antara kesiapan (kebutuhan) biologis dengan psikologis inilah yang mendorong budaya hook up terbentuk.
Untuk konteks Indonesia, artikel dalam Tirto menjelaskan bahwa aktivitas hook up, baik online maupun offline ternyata bukan hal baru di Indonesia, meskipun prakteknya masih dilakukan diam-diam. Dalam artikel yang fokus pada pengalaman hookup beberapa narasumber tersebut, asal-muasal munculnya budaya hook up di Indonesia sendiri tak dipaparkan.
Bagaimana hook up berdampak pada pelakunya? Masih dalam American Psychological Association, baik perempuan maupun laki-laki cenderung mengalami perasaan positif lebih dari perasaan negatif setelah melakukan hookup. Dalam sebuah studi, sejumlah partisipan ditanyai tentang bagaimana perasaan pada pagi hari sesudah melakukan hook up. Sebanyak 82% laki-laki dan 57% perempuan merasa lega karena telah hook up. Selain perasaan positif, perasaan negatif juga dirasakan setelah hook up, seperti rasa menyesal dan kecewa.
Apa risikonya? Lebih jauh, American Psychological Association menyebutkan bahwa selain perasaan positif, aktivitas hook up juga memiliki dampak-dampak negatif, seperti luka secara emosional maupun psikis, kekerasan seksual, penyakit menular seksual, dan kehamilan yang tak direncanakan. Dalam sebuah studi yang dilakukan pada 71 mahasiswa (39 perempuan dan 32 laki-laki), sebanyak separuhnya menyatakan tidak menyadari risiko tertular penyakit seksual ketika berhubungan seksual.
Keterlibatan anak usia sekolah dan mahasiswa dalam aktivitas hook up tidak bisa disalahkan begitu saja kepada aplikasi kencan online yang menjamur. Solusinya, seperti yang sudah disebutkan di banyak sumber, adalah pendidikan seksual atau sex education sejak dini dan semangat kesetaraan gender.