Sekarang ini bekerja menjadi seorang penulis penuh waktu tidak kalah bergengsinya dari bekerja sebagai PNS atau pegawai kantoran lainnya. Selain karena sekarang ini semakin banyak media yang bermunculan— yang tentu saja memerlukan kontribusi tulisan dari luar lingkaran keredaksian (ini artinya kiriman naskah dari penulis sangat dibutuhkan), juga karena honorarium dari media terbilang cukup lumayan.
Bayangkan saja, secara umum media nasional mengganjar satu tulisan dengan honor senilai Rp 300.000 (kalau media semacam Kompas bahkan dapat memberikan honor senilai Rp 500.000 sampai Rp 2.000.000 pertulisan), maka kalau dalam sebulan ada lima saja tulisan yang dimuat, penulis bisa mendapatkan kiriman honor sejumlah Rp 1.500.000.
Honor sejumlah itu hampir sama dengan gaji seorang pegawai berpangkat menengah. Kalau penulis lebih giat lagi menulis dan memuatkan karya di media, maka honor yang ia terima pun semakin banyak.
Jika tulisan-tulisan yang dihasilkan berbobot serta mengandung inspirasi, penulis dapat juga diundang untuk mengisi seminar sesuai tema buku yang ia garap. Ini tentu memberi tambahan bagi penulis berupa dana upah mengisi seminar. Itu belum termasuk bonus dikenal oleh khalayak pembaca.
Tentu saja kita tidak dapat menghindari munculnya pendapat sumbing dari orang-orang yang menganggap bekerja sebagai penulis tidaklah keren, karena tidak kelihatan berangkat ke kantor dengan baju rapi berbau wangi.
Bekerja sebagai penulis ‘hanya’ mendekam saja di dalam rumah, duduk menghadapi komputer atau laptop sambil menghirup kopi terus-menerus (padahal tidak semua penulis berperilaku demikian). Ini tidak sehat dan dapat membuat keracunan kafein.
Belum lagi karena penulis belum diakui sebagai jenis pekerjaan di Indonesia. Buktinya dokumen resmi seperti KTP belum mengizinkan penulis dicantumkan sebagai pekerjaan. Demikian pula dokumen maupun formulir isian lainnya.
Meskipun begitu, harus disadari bahwa bekerja menulis adalah bekerja untuk kemanusiaan. Seorang penulis yang menghasilkan tulisan-tulisan berbobot dengan substansi mencerahkan, sama artinya sedang mendidik pembaca—masyarakat—untuk mencapai pemahaman atau idealisme tertentu. Kalau menurut bahasa W.S. Rendra, penulis adalah begawan yang hidup di awang-awang, tidak menjejak tanah, juga tidak berpijak di angkasa.
Penulis memiliki tugas memasok gagasan pencerahan bagi kaum yang hidup di tanah—rakyat—akan sebuah pola hidup ideal, juga mengingatkan kaum yang hidup di langit—penguasa—untuk senantiasa eling akan tanggung jawab yang diletakkan di pundaknya.
Dengan bekerja sebagai penulis, otak tidak akan cepat linglung karena senantiasa diasah dan diperas guna menghasilkan tulisan yang bagus serta layak baca. Lebih dari itu, tulisan-tulisan yang dihasilkan—apabila mengandung nilai kebajikan—maka dapat mendatangkan pahala dan kemanfaatan bagi lingkungan.
Untuk menjadi penulis profesional, tentu tidak dapat dilakukan dengan modal nekat. Wani-wanian dengan semangat membara, tetapi kemudian semangat itu surut, bahkan melempem sama sekali manakala kenyataan berbicara: tak satu pun tulisan yang dikirim, dimuat media. Ironis!
Guna menghindari hal pahit tersebut, orang yang berkehendak menjadi penulis profesional perlu membaca buku setebal 272 halaman ini. Isinya memaparkan serba-serbi dunia kepenulisan yang sudah digeluti sang penyusun buku ini selama kisaran waktu 25 tahun.
Secara sinoptik buku ini terbelah menjadi tiga, yakni Bagian I, Bagian II, dan Bagian III.
Bagian I memuat alasan kenapa orang perlu dan harus menulis. Alasan itu antara lain, (1) supaya pintar, karena menulis merupakan cara paling tepat untuk mengikat ilmu agar tidak ‘berlarian’ ke sana kemari.
Ini sesuai dengan perkataan Ali bin Abi Talib, “Ikatlah ilmu dengan cara menuliskannya.”
Selain itu, ada penjelasan bahwa ilmu itu disimpan di memori, sedangkan memori seringkali tersimpan rapi di otak, sehingga sulit untuk dikuak saat kita membutuhkannya. Oleh karena itu, ilmu harus ditranslasikan dalam bentuk buku, kitab, yang mudah dibuka saat kita membutuhkan (halaman 43).
(2) Menulis dapat dianggap sebagai media dakwah. Tentu saja jika substansinya mengajak kepada kebaikan dan mencegah sesuatu yang baik (halaman 45-47).
(3) Untuk meninggalkan jejak sejarah. Hal ini bisa didasarkan pada prasasti kerajaan-kerajaan tempo doeloe yang tetap disimpan dan dipelajari hingga zaman sekarang. Ini berarti usia karya lebih panjang daripada usia pembuatnya. Demikian pula dapat terjadi pada karya tulis. Sel ain itu, jejak karya tulis dapat terus memberikan manfaat tidak hanya bagi pembaca tapi juga pada penulisnya meski penulisnya sudah meninggal dunia. Ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad mengenai tiga amal yang terus mengalirkan pahala (halaman 48-49).
(4) Menulis juga dapat digunakan sebagai cara untuk diri berpikir lebih sistematis. Selain untuk (5) memenej emosi, (6) mengekspresikan empati dan pembelaan, (7) cara ampuh untuk menghilangkan kerut wajah, (8) lahan menjaring persahabatan, dan (9) untuk memperoleh kekayaan batin serta finansial (halaman 49-61).
Bagian II merupakan intisari dari buku ini, yakni mengenai cara-cara dan latihan-latihan kreatif yang perlu ditempuh untuk menjadi penulis profesional. Misalnya melatih penguasaan kosakata dengan membuat sebuah paragraf yang terdiri dari kata-kata penyusun berhuruf awal urutan alphabetic.
Contoh: Ada Bangku Cantik Di Emper Fakultas. Gagah, Halus! Ih, Jadi Kepengin Langsung Meloncat Nangkring. Oh, Permukaannya Quarsa. Rabbi, Sebuah Tata Ukiran Versi Wirawan, Xilograf Yang Zuhud (halaman 75).
Atau membuat satu atau lebih kalimat dengan kata-kata penyusun bersuku kata 1 hingga 8.
Contoh: oh/ ra-sul/ mu-li-a/ pri-ba-di-mu/ meng-ge-lo-ra-kan/ ke-le-mah-lem-but-an/ mem-po-rak-po-ran-da-kan/ su-per-e-go-is-me-an-ku (halaman 76).
Dalam bagian ini, Afifah Afra juga mengemukakan tips menghasilkan tulisan berbagai genre dan trik untuk memuatkannya di media massa (bagian ini disertai alamat-alamat media yang menerima kiriman tulisan).
Genre tulisan yang dimaksud adalah cerita pendek, novel, artikel, esai, feature, resensi, laporan jurnalistik, dan puisi (halaman 128-221).
Afifah Afra juga memaparkan soal sistem perjanjian dengan penerbit seumpama kita hendak mempublikasikan karya dalam bentuk buku (halaman 229-231).
Bagian ini juga disertai trik menembus penerbit dan alamat-alamat penerbit yang menerima kiriman naskah buku (halaman 231-233).
Bagian III atau bagian pamungkas, mengemukakan cara menerbitkan dan memasarkan buku lewat penerbitan dan jasa pemasaran yang didirikan sendiri. Inilah yang dinamakan Afifah Afra sebagai writer-preneur (halaman 243-261).
Secara umum, buku ini tidak hanya memandu, tapi juga mencerahkan dan menambah gagasan bagi orang yang hendak memulai karir sebagai penulis profesional—atau bahkan orang yang sudah lama berkecimpung di dunia creative writing.
Nilai tambahnya adalah Afifah Afra mengemukakan isi buku ini berdasarkan pengalamannya sendiri selama menggeluti dunia kepenulisan, sehingga apa yang dipaparkan di dalam buku ini bukan merupakan cuap-cuap kosong hanya berlandaskan teori saja.
Bila dibandingkan dengan How To Be a Smart Writer (edisi lama buku ini sebelum direvisi), buku ini kurang ilustrasi. Memang secara materi, isi buku ini banyak sekali tambahan informasi yang berguna, namun penyunatan ilustrasi yang dulu turut dilampirkan cukup mengecewakan, karena secara perwajahan isi, buku ini jadi agak kurang dapat dinikmati.