Ulasan Buku "Taman Tanpa Aturan": Ketika Anak-Anak Dibelenggu Banyak Aturan

Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Ulasan Buku "Taman Tanpa Aturan": Ketika Anak-Anak Dibelenggu Banyak Aturan
Taman Tanpa Aturan (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Dalam seri cerita kenangan Sekayu, Nh. Dini mengungkapkan betapa tidak enak menjadi anak-anak, karena tidak bisa berbuat sekehendak hati. Semuanya dilarang, apa-apa serba diatur, oleh orang dewasa.

Sementara orang dewasa, terutama laki-laki, merasa berhak berlaku apa saja. Dalihnya: karena mereka sudah besar. Sudah bisa berpikir panjang dan bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri.

Benarkah? Kumpulan cerita anak Taman Tanpa Aturan justru menunjukkan sebaliknya: orang dewasa—yang pernah menjadi anak-anak—telah berubah menjadi sosok egois, kaku, dan menjemukan. Mereka suka mengatur orang lain, tapi juga getol melanggar aturan buatan sendiri. Kontradiktif bukan?

Celakanya, perbuatan orang dewasa tidak jarang malah merusak tatanan hidup dan merugikan banyak orang.

Buku berisi dua lusin cerita ini merekam sebagian sikap tersebut. Dalam cerita Di Kota Itu Tak Ada Lagi yang Gratis, tergambar kesewenang-wenangan pemimpin yang memandang dan memperlakukan segala sesuatu dari perspektif komersial. Berbuat apa pun, selalu dikenai tarif, sebab, “... segala hal yang gratis itu tidak terlalu baik.” (halaman 3). 

Maka, “Segala hal telah memiliki harga yang harus dibayar. Menyapa tetangga harganya 10 sen, membalas sapaan tetangga harganya 5 sen, jalan-jalan sore harganya 15 sen, tidak melakukan apa-apa harganya 100 sen, dan lain-lain.” (halaman 1). 

Kritik mengenai komersialisasi segala sesuatu, termasuk menjual kesedihan orang lain, juga tergambar dalam cerita Cendera Mata Air Mata (halaman 24-25).

Dalam Perang Hebat Dua Negara, digambarkan betapa nafsu syahwat untuk berkuasa, mengangkangi sebanyak mungkin jengkal tanah di Bumi, membuat pemimpin (baca: laki-laki) gelap mata. Dalihnya, perdamaian di muka Bumi tidak akan pernah tercapai, jika masih ada negara selain negaranya sendiri (halaman 56).

Dengan dalih itu, pemimpin justru menitahkan menyerang negara lain dengan tank, pesawat jet tempur, dan para tentara yang selalu menenteng senjata.

Kendati merugikan dan melanggar hak hidup orang banyak, sering kali, orang dewasa dihinggapi kejumawaan. Mereka mendaku paling besar, paling benar, sehingga emoh mendengarkan pendapat orang lain (baca Sepasang Telinga yang Mencoba Kabur, halaman 10-11).

Pun merasa sok moralis, sehingga melarang penggunaan kata-kata kasar dalam segala bentuk percakapan, entah lisan maupun tulisan (Kota yang Melarang Kata-Kata Kasar, halaman 44-46). 

Walaupun banyak memuat kritik untuk orang dewasa, jangan dikira isi buku ini disajikan dengan pilihan kata dan teknik cerita yang berat.

Sebaliknya, pengarang menghadirkan cerita anggitannya secara jenaka, imajinatif, tampak main-main, dan jauh dari kesan menggurui (karena tidak ada simpul nasihat secara verbal). 

Pun cerita-cerita dalam buku ini memuat perlawanan terhadap dominasi orang dewasa lewat cara yang simpel sekaligus mengena.

Sebut sebagai contoh, perlawanan gadis kecil terhadap aturan komersialisasi segala sesuatu (Di Kota Itu Tak Ada Lagi yang Gratis) dengan cara mengizinkan orang-orang mengelus-elus kucing peliharaannya, gratis!

Atau anak-anak yang dipaksa menjadi ‘martir’ untuk melawan negara tetangga, justru saling berkenalan dan bermain bersama dengan lawan di medang perang (Perang Hebat Dua Negara).

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak