Membaca buku bisa menjadi pengalaman mengasyikkan tersendiri. Buku bisa menjadi penghiburan, pelipur lara sekaligus teman saat senggang. Anda bisa memilih buku apa saja untuk teman duduk anda. Tetapi anda akan mendapatkan pengalaman berbeda saat membaca novel kwartet pulau buru karya Pramoedya Ananta Toer. Ada empat alasan yang layak anda ketahui mengapa kita perlu membaca buku kwartet pulau buru karya Pram.
1. Pernah Jadi Novel Terlarang
Kwartet pulau buru pernah menjadi novel terlarang di masa Orde Baru. Kalangan militer waktu itu amat sering merazia buku para aktifis. Buku kwartet pulau buru ini pernah dilarang oleh kalangan militer Orde Baru kala itu. Dulu membaca kwarter pulau buru adalah sesuatu yang mewah karena tidak semua orang bisa menemuka dan membaca buku ini. Kini, novel itu sudah banyak beredar di pasaran, anda bisa lekas membeli dan membacanya tidak sesulit di masa Orde Baru.
2. Ditulis Penuh Perjuangan
Novel kwartet pulau buru karangan Pramoedya Ananta Toer memang dianggap sebagai masterpiecenya Pram. Pram menulis novel ini dengan penuh kisah heroik. Semasa di Pulau Buru, arsip dan buku-bukunya sempat dibakar oleh militer. Pram hanya mengandalkan ingatan yang ada di otaknya. Novel ini sebelumnya ditulis pada rokok ting we (dilinting dewe/ diracik sendiri). Pada kertas-kertas rokok itulah melalui temannya yang diselundupkan di Buru, Pram menulis novelnya.
Novel itu pun sempat menjadi cerita oral di kalangan teman-temannya di Pulau Buru.
3. Kisah Bapak Jurnalis Indonesia
Novel Kwartet Pulau Buru adalah novelisasi dari bapak pers nasional Indonesia Tirto Adi Suryo. Ia mendirikan pers bumi putra di tahun 1901 bernama Sunda Berita. Kisah kepeloporan dan nasib Tirto yang sunyi dan sepi ini diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer.
Pram menulis dengan bahasa yang indah dan tragis. Kisah perjuangan dan perlawanan Tirto di pergerakan dan pers mencoba diangkat kembali oleh Pram.
Novel inilah yang kelak membuat Pram digadang-gadang akan memperoleh nobel sastra.
4. Teladan dalam Menulis
Belajar menulis adalah belajar berjuang, bersikap. Novel kwartet pulau buru Pram memotret Tirto Adi Surjo yang berjuang dan gigih melawan penjajah melalui tulisan. Ia menyuarakan suara nurani serta suara rakyat kecil melalui pers dan tulisan-tulisannya.
Menulis bagi Pram maupun bagi Tirto Adi Suryo adalah berjuang, bersikap. Membaca novel ini bisa menjadi teladan apik tentang makna dan dedikasi seorang penulis bagi bangsanya.