Sobat Yoursay, kalau ada penghargaan untuk proyek paling sering disorot publik, mungkin Whoosh atau Kereta Cepat Jakarta–Bandung, akan maju paling depan.
Dari awal diumumkan, proyek ini sudah diselimuti beragam kontroversi, mulai dari pembengkakan biaya, keterlambatan penyelesaian, hingga utang yang terus menumpuk. Dan kini, satu lagi babak baru terbuka, dugaan korupsi pengadaan lahan yang bikin publik mengelus dada.
KPK tengah menelisik dugaan pengadaan lahan yang tidak wajar. Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebut ada oknum yang menjual tanah milik negara kembali ke negara dalam proyek ini.
Absurd memang, tapi begitulah faktanya. Negara membeli lagi tanah yang sudah jadi miliknya. Lebih ironis lagi, pembayarannya dilakukan dengan harga tinggi, bahkan di atas harga pasar.
Kalau benar demikian, maka kita bukan sedang berbicara soal pembangunan infrastruktur, tapi soal betapa lihainya orang-orang memanfaatkan celah untuk mengeruk keuntungan di tengah proyek nasional.
Proyek kereta cepat ini sejak awal memang digadang-gadang sebagai simbol kemajuan, sebagai bukti bahwa Indonesia bisa sejajar dengan negara maju dalam teknologi transportasi. Namun, di balik gegap gempitanya, angka-angka di laporan keuangan bercerita lain.
Dari semula ditaksir sekitar Rp 86 triliun, biaya proyek ini membengkak menjadi lebih dari Rp 130 triliun. Dan dari nilai sebesar itu, sebagian besar bersumber dari pinjaman luar negeri, terutama dari Tiongkok.
Lalu, siapa yang nantinya menanggung utang ini?
Tentu bukan para pejabat yang memutuskan proyek ini di atas meja rapat. Beban itu akan menetes perlahan kepada masyarakat, lewat pajak, subsidi yang dikurangi, atau anggaran publik yang dialihkan.
Publik sudah lama menyindir proyek ini sebagai kereta cepat yang akan menjadi bom waktu. Sebab, siapa yang benar-benar menikmati manfaatnya? Tiketnya tidak murah, rutenya terbatas, dan efek ekonominya baru terasa di daerah-daerah tertentu.
Sementara sebagian besar rakyat di luar Jawa Barat hanya bisa menatapnya lewat layar televisi, sambil bertanya dalam hati, “Apa benar ini untuk kami juga?”
Dan kini, seakan belum cukup, muncul dugaan bahwa tanah milik negara dijual kembali ke negara oleh oknum.
“Kalau pembayarannya wajar, maka tidak akan kami perkarakan,” ujar Asep Guntur, “tapi kalau pembayarannya tidak wajar, mark up, dan apalagi tanahnya bukan miliknya—kami harus kembalikan uang itu kepada negara.”
Kutipan itu seolah membuka lembaran baru dari proyek infrastruktur besar di negeri ini yang hampir selalu disusupi praktik serupa. Mulai dari proyek tol, bandara, pelabuhan, sampai kini kereta cepat, selalu saja ada tangan-tangan yang memanipulasi dokumen dan harga.
Proyek boleh dibilang strategis, tapi yang strategis sebenarnya adalah cara para oknum mengatur keuntungan.
Sobat Yoursay, banyak orang mungkin berpikir korupsi di proyek ini hanya soal uang. Padahal, yang lebih berbahaya adalah dampaknya terhadap kepercayaan publik.
Kita sudah terlalu sering dikecewakan oleh proyek besar yang diklaim demi kemajuan bangsa, tapi berakhir dengan utang besar dan segelintir pihak yang kaya mendadak.
Dalam setiap upacara peresmian, kita melihat senyum pejabat dan pita merah yang dipotong dengan megah. Tapi di balik itu, ada tagihan yang harus dibayar rakyat, dan ada permainan kotor yang menyelinap di antara dokumen tender dan sertifikat tanah.
Dan yang paling menyakitkan, siapa pun presidennya, siapa pun menterinya, fenomena ini seolah terus berulang.
Publik tidak lagi butuh janji bahwa proyek ini akan berdampak besar bagi ekonomi. Mereka ingin bukti bahwa uang negara benar-benar digunakan untuk rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir elite.
Dan bila benar KPK menemukan fakta bahwa tanah negara dijual kembali ke negara sendiri, maka itu bukan sekadar korupsi biasa. Itu adalah simbol kegagalan moral dalam sistem yang terlalu sering bicara efisiensi, tapi jarang bicara integritas.
Publik sudah lelah mempertanyakan, mengapa setiap kali bicara pembangunan, kita justru harus menanggung utang dan skandal? Apakah proyek-proyek besar ini benar-benar dibangun untuk masa depan rakyat, atau hanya untuk membangun citra di depan kamera?