Ulasan Novel Pak Djoko, Misteri Keluarga yang Dikemas dalam Bahasa Puitis

Hayuning Ratri Hapsari | Rie Kusuma
Ulasan Novel Pak Djoko, Misteri Keluarga yang Dikemas dalam Bahasa Puitis
Cover novel Pak Djoko (Ipusnas)

Sangat jarang novel bergenre horor misteri yang menggunakan bahasa puitis dalam dialog maupun deskripsinya. Bahkan mungkin, novel Pak Djoko karya dari Arin T ini menjadi satu-satunya.

Sebelum tiba pada ulasan saya tentang novel Pak Djoko dan plus minus penggunaan bahasa puitis dalam novel horor, ada baiknya saya ceritakan sedikit tentang isi novel setebal 201 halaman ini.

Novel Pak Djoko berkisah tentang sebuah keluarga besar beranggotakan enam orang, yang kerap berpindah-pindah hunian. Mereka ngontrak berkali-kali sebelum akhirnya bisa memiliki rumah sendiri. Sebuah rumah tua, besar tapi suwung, yang berada di Blok HH77.

Rumah besar dua lantai tersebut milik seorang lelaki bernama Pak Djoko yang telah meninggal. Rumah yang dihargai murah tersebut agak menimbulkan kecurigaan di hati Bintang, tokoh kita yang memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal tak kasat mata. Hal yang juga dimiliki adiknya, Gilang.

Selain Bintang dan Gilang, para anggota keluarga lain skeptis soal masalah hantu. Jadilah, baik Bintang maupun Gilang hanya bisa membicarakan hantu-hantu di antara mereka berdua saja. Seperti hantu-hantu di hunian lama dan hantu-hantu yang kemudian mereka lihat di rumah baru.

Alpa bukan berarti tiada. Tak kasatmata bukan berarti tidak nyata. Yang sudah tak bernyawa terkadang belum meninggalkan semesta. (Hal. 197)

Ya, rumah baru yang Bintang dan keluarganya diami ternyata juga dihuni sejumlah hantu. Namun ternyata, bukan hantu-hantu tersebut yang harus diwaspadai.

Bintang dan Gilang merasakan keanehan mulai muncul dari sikap ayah mereka, Pak Tegar, yang seolah menyembunyikan sesuatu. Mulai dari penemuan peti aneh di garasi, tamu-tamu rahasia sang ayah, dan pengakuan adik mereka, Sinta, yang kerap disatroni ayah mereka di tengah malam, dan penemuan sejumlah benda klenik di gudang.

Wangi semerbak bunga sedap malam yang mengundang suasana mencekam bercampur aroma tajam minyak-minyakan dan kemenyan serta dupa yang meremangkan bulu roma seketika menyerbu kami berdua. Berbagai macam aroma berbaur jadi satu, tapi entah mengapa aku dapat membedakan asalnya satu demi satu. (Hal. 134)

Melalui sudut pandang Bintang, lebih dari separuh isi novel Pak Djoko menceritakan tentang hantu apa saja yang menghuni rumah baru keluarganya. Setiap hantu dideskripsikan cukup mendetail tentang sosoknya dan di sisi rumah sebelah mana saja mereka biasanya berada.

Konflik tentang keanehan Pak Tegar baru muncul setelah pertengahan novel, membuat eksekusinya terasa kurang. Bagi saya juga agak janggal ketika ada tokoh yang ‘tiba-tiba jahat’ tanpa ada lanjaran terlebih dulu, sehingga pembaca bisa memaklumi ketika ada kemunculan tokoh jahat yang tak disangka-sangka.

Kelebihan novel ini, deskripsinya mendetail, penulis juga banyak memasukkan kosa kata yang jarang saya dengar. Hal ini tentu saja baik karena menambah wawasan pembaca tentang kosa kata. Di antaranya seperti: puaka (hantu penunggu), lecah (becek/berlumpur), terselap (kesurupan), bengar (bau busuk), selebu (besar), dan lain sebagainya.

Kekurangan novel, ada pada judul novel yang ‘kurang masuk’. Judul Pak Djoko rasanya kurang tepat karena tak ada pembahasan apa pun tentang beliau, selain bahwa Pak Djoko pemilik rumah sebelumnya dan dia akan muncul di akhir untuk plot twist, yang agak maksa menurut saya.

Tentang bahasa puitis yang di awal sempat saya singgung, di satu sisi penggunaan bahasa puitis memberikan keunikan atau keunggulan, yang bisa ditonjolkan dalam novel terbitan Elex Media Komputindo ini. Di sisi lain, hal ini menjadi bumerang ketika bahasa puitis dengan menggunakan rima di ujung setiap kalimatnya ada di dalam sebuah novel horor.

Otomatis, kehororan atau misteri yang tengah dibangun dalam cerita akan sangat jauh berkurang keseramannya. Semula pembaca ingin takut pada deskripsi yang dijabarkan penulis tentang hantu-hantu yang tinggal dalam rumah tua.

Namun, bahasa puitis berima tadi membuat pembaca menjadi salfok. Ditambah lagi dengan dialog antartokoh yang juga memakai rima di ujung kalimat. Seperti contoh berikut:

Raut si lelaki berubah serius, tapi nada bicaranya tetap tulus. “Apa yang bisa saya perbuat?”

“Om punya roda empat? Bisa tolong antarkan saya ke suatu tempat? Ini darurat.” (Hal. 143)

Maka begitu situasi kembali aman, keluar dari persembunyian aku berjingkat mendekat dan menempelkan sebelah telinga pada satu daun jendela yang tak tertutup rapat. Harum menyan semakin pekat. Irama jantungku kian meningkat. (Hal. 154)

Mungkin jika satu atau dua paragraf masih oke. Tapi, ketika hampir keseluruhan isi novel memakai bahasa berima seperti itu, menurut saya sebagai pembaca jadi agak mengganggu.

Namun, kembali lagi ke selera pembaca. Jika kalian penggemar novel horor dengan sentuhan misteri dan bahasa puitis, novel Pak Djoko sepertinya akan cocok untuk kalian.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak